Selasa, 13 Juli 2010

REFLEKSI: KEBEBASAN!

Mungkin agak sulit bagi kebanyakan kita untuk memahami konsepsi Tawhid sebagai Pembebasan. Hal ini karena secara mindset kita lebih mengakrabi kebebasan dalam pengertian material an sich. Kebebasan lebih dimaknai sebagai suatu kondisi serba boleh setiap individu untuk bertindak berdasarkan kehendaknya. Terbebas dari segala tekanan maupun aturan, tanpa mempertimbangkan asal-usul maupun sumber kemunculan dari kehendak itu sendiri. Boleh di bilang, wacana seputar kebebasan hampir diidentikkan dengan hak pembelaan manusia ketika berhadapan dengan sebuah kekuatan yang membelenggunya. Ia seolah tersekat oleh sesuatu yang bersifat profan, privaci dan sekuler. Hampir jarang –jika tidak ingin disebut tidak sama sekali- ia dikaitkan dengan anugerah Sang Pencipta yang sesungguhnya teramat trasenden. Demikian kebebasan dalam visi liberalism individualistic yang menjadi pemahaman mayoritas kita dewasa ini.

Sementara kebebasan dalam makna hakiki tidaklah demikian. Kebebasan didefinisikan dengan merujuk pada potensi intrinsic manusia yang mencitrakan keunikan eksistensialnya dengan makhluk-makhluk lain. Kebebasan merupakan ruang terbuka yang kondusif bagi teraktualisasikannya kecerdasan intuitif dan kecerdasan intelektual dalam dimensi ruang dan waktu serta kesejarahan manusia. Kedua kecerdasan manusia ini memilki dasar mutlak aktualisasi karena merupakan citra kemanusiaanya. Tanpa keduanya manusia seolah setara dengan makhluk lainnya, dan kehilangan kemuliaan serta keunikannya. Tanpa keduanya manusia tak lebih organism hidup yang tak jauh beda dengan binatang. Dalam realitas social kita, tidak berfungsinya kecerdasan intelektual atau akal sehat kita menjadikan seseorang menyandang predikat orang gila. Derajat kemanusiaannya secara social turun, dan kemampuanna untuk berfungsi secara social pun terganggu.

Artinya Kebebasan dalam Islam merupakan kebebasan yang bertujuan. Yakni bertujuan untuk menjaga dan memeliha serta mengoptimalkan anugerah Ilahiyah yang secara unik dimilikinya. Sehingga seorang manusia dapat menjalankan fungsi kepemimpinan (khalifah) di alam ini, dengan mendayagunakan kekuatan Ilahiyahnya termasuk potensi material yang ada di bumi untuk tujuan yang melampaui batasan material.
Demikianlah secara tekstual makna Tawhid sebagai Tahriiru-n Naas!

QUO VADIS MODERNISME


Mukadimah: Fenomena Postmodernisme

Di era milenium III ini, istilah postmodernisme, dibalik ambiguitas maknawi yang dikandungnya, berhasil menguncang cakrawala pemikiran falsafah kontemporer. Pandangan kritis-radikalnya terhadap konfigurasi dan pilar-pilar utama world view peradaban modern yang semenjak abad ke-17 megabadikan diri hingga mapan dan canggih, telah membuat banyak kalangan terhenyak. Para pemuka madzhab anyar ini, dapat disebut antara lain Paul Ricoer, Lyotard, Michel Foucault, Jaques Derida, Jurgen Habermas, Theodore Adorno, dan lain-lainnya. Tak kurang reaksi negatif dan kontradiktisionis muncul dari berbagai pihak, sehingga pemikiran postmo ini dianugerahi setempel bernada mengolok-olok: sebagai mode intelektual yang dangkal, kosong dan reaktif. Bahkan dalam kamus The Modern-Day Dictionary of Received Ideas Postmodernisme dirumuskan sebagai “Kata yang tak bermakna, Gunakan saja sesering mungkin”.

Dalam medan filsafat, postmodernisme menunjuk pada pengertian bagi segala bentuk refleksi kritis atas paradigma-paradigma dan atas metafisika pada umumnya. Walaupun aliran pemikiran ini terpilah-pilah dalam bentuk yang lebih khusus, namun kesemuanya secara khas melontarkan kritik tajam atas paradigma rasionalisme-positivistik sebagaimana yang talah diletakan visi dasarnya oleh Descartes di masa-masa awal kebangkitan Barat (Eropa). Dalam perspektif filsafat, karakter khas yang melekat dalam modernisme adalah, bahwa ia senantiasa berupaya mencari dasar segala pengetahuan (episteme, wissenschaft) tentang ta onta realitas, yakni: dengan jalan kembali ke subjek yang mengetahui itu sendiri baik secara pemahaman transedental maupun psikologis. Dan kepastian mendasar atas pengetahuan ”realitras eksternal” tersebut diukur melalui hukum logika. Dus, representasi yang benar dan tepat atau keserupaan objektif dari realitas eksternal adalah identik dan sertamerta merupakan gagasan-gagasan yang telah diorganisasikan secara logis.

Dengan demikian pula, pandangan epistemologis seperti ini telah menempatkan manusia pada posisi pusat eksistensi dalam kosmik, ia sebagai subjek murni dan dalam waktu yang bersamaan mengakibatkan realitas alam semesta sebagai objek murni. Atau meminjam istilah Merleau-Ponty, manusia menjadi kosmotheoros dan alam sebagai la grand object. Lebih jauh lagi, Fritjof Capra dalam bukunya Science, Society and The Rising Culture, memandang bahwa paradigma modern yang bertumpu pada prosedur reduksionis dengan mengansumsikan alam material secara mekanistik, dan kemudian memaksanya guna diformulasikan secara kuantitatif-matematis, telah mengakibatkan lahirnya krisis persepsi ekologis; yakni alam dipandang sebagai benda mati dan objek yang absah untuk di kuasai, diprediksikan dan dieksploiatasi.

Dan menurut baliau pula dualitas pikiran dan materi yang dilambangkan oleh pernyataan Descartes-cogito ergo sum-telah mendorong orang-orang Barat menyamakan identitas mereka dengan pikiran rasional dan bukannya dengan organisme yang utuh. Konsekuensinya, orang- orang Barat menjadi surut ke dalam pikiran semata, dan “lupa” rasio sebagai instrumen untuk mengetahui. Dan ini berarti telah memutuskan hubungan dirinya dengan alam dan lupa bagaimana bermasyarakat dan bekerjasama dengan beragam organisme hidup.

Terlepas dari penilaian pejoratif terhadap pandangan postmodernisme, dan perdebatan teoritis dalam wacana epistemologi sebagaimana telah diuraikan secara singkat di atas, yang jelas pandangan-pandangan tadi telah menawarkan sebuah perspektif baru menatap modernisme. Dan serangan-serangannya terhadap modernisme, terutama dalam segi epistemologinya (karena merupakan unsur dasar modernisme) merupakan pemicu positif bagi kita untuk bersikap kritis terhadap keseluruhan wacana modernisme yang kini makin manjalar secara global.

Dalam sejarah diskursus intelektual, kritik tajam terhadap realitas modern beserta ornamentasinya bukanlah hal yang asing atau sama sekali baru. Telah hadir sebelumnya kalangan intelektual dari ragam millieu sosio-kultural yang memandang secara negatif, pesimistik bahkan nihilistik atas modenitas, dengan cara, pendekatan dan pisau bedah analisis yang berbeda-beda. Namun pada intinya, mereka memandang bahwa dalam peradaban modern kiwari terdapat anomali, paradoks-paradoks dan kontradiksi mendasar dalam level pemikiran teoritis-filosofisnya, maupun dalam level praksis-historisnya.

Citra Kemanusiaan Dalam Pandangan Modernisme

Sepanjang sejarah kemanusiaan, pandangan tentang jatidiri atau citra atas eksistensinya merupakan basis yang membentuk suatu corak kebudayaan atau peradaban tertentu. Atas dasr tu, dalam rangka melacak dan membedah watak dasar sebuah peradaban,menggunakan pendekatan atas konsep citra kemanisiaan merupakan salah satu pendekatan yang efektif agar memperoleh pemahaman secara global da objektif.

Menurut pandangan Dr. Ali Syari’ati, dewasa ini terdapat empat mazhab pemikiran yang mengklaim diri selaku pemilik valid humanisme, yaitu: Liberalisme perbedaan-perbedaan antara mazhab Liberalisme Barat, Marxisme dan Eksistensialisme, namun secara hakiki memiliki fondasi pemikiran yang sebangun dan sejajar. Dalam perspektif evolusi kesejarahan, visi humanisme yang berkembang dalam wacana Intelektualisme Barat berakar dari puak-puak pemikiran yang hidup pada zaman Peradaban Yunani Kuno. Kemudian melalui liku-liku dialektika historikal-intelektual mencapai titik klimaks kematangan relatifnya pada dunia Eropa modern. Dan menurut analisis Dr. Ali Syari’ati pula, bahwa pada sejatinya teori humanisme Barat dibangun atas asas yang sama yang dimiliki oleh narasi besar da mithologi Yunani, yakni didasarkan atas dikotomi, kontradiksi dan konfrontasi antara langit dan bumi, alam dewa dan alam manusia. Dalam wacana mithologi ini, Para Dewa (Tuhan) adalah kekuatan yang memusuhi manusia dan bertindak despotik, serta membelenggu manusia agar lestari dalam penjara kelemahan dan kebodohannya.

Sebagai implikasi logis dari bangun pikir menempatkan permusuhan permanen antara Tuhan dan manusia, maka pada ujungnya mengakibatkan lahirnya tendensi mendominasi alam secara tak terbatas sebagai upaya menunjukan kekuatannya dihadapan Tuhan. Tragedi ini sekaligus juga menjadi sebuah preseden serius bagi seluruh agama, karena mengakibatkan tercitrakannya seluruh agama-tanpa kecuali-secara negatif.

Oleh karena itu pula model pandangan humanisme yang dijadikan sandaran teoritis dan praktis bangsa-bangsa Barat, sangat identik dengan negasi segala sesuatu yang transenden dan spiritual. Manusia dalam makna material per se yang dipahami sebagai realitas to ontoos on dan otentik dan karenanya dipandang paling otoritatif untuk dijadikan sumber legitimasi kebenaran. Kemerdakaan insani yang dipahami bangsa Barat kiwari, merupakan refleksi atas keterbebasan manusia dari segala bentuk unsur spiritual. Hatta realitas soul sebagai unsur spiritual yang substantif dan melekat sebagai bagian padu dari eksistensi kemanusiaannya dipandang sebagai ilusi, aksiden atau produk imaginasi. Sebagai akibatnya, kemanusiaan hari ini adalah kemanusiaan yang pincang, kemanusiaan yang tidak mengakomododasikan dimensi etis-spiritual insaninya yang natural dan parenial. Kesemuanya itu kemudian terlefleksikan dalam seluruh perikehidupan manusia saat ini, sehingga secara evolusioner berbalik arah menjadi penghancur kemanusiaan itu sendiri dalam level mondial. Yakni dalam bentuk krisis kompleks dan multidisional yang mengancam secara serius eksistensi manusia.

Secara lebih lanjut dapat pula kita simpulkan bahwa ide-ide materalisme, atheisme, sekulerisme, hedonisme, dan yang sejenisnya pada hakikatnya merupakan fenomen-fenomen eksesif dalam cakrawala intelektual yang terlahir dari tendensi emotif-traumatis terhadap agama, dan karenanya adalah pseudo-ilmiah.

Citra Cakrawala Dalam Pandangan Modernisme

Sebagaimana telah diurai secara sekilas di awal tulisan ini, paradigma rasionalisme-posivistik secara substansial berpijak pada “doktrin” cogito ergo sum. Dalam dimensi kesadaran manusia, ini mengakibatkan lahirnya subordinasi dan terjadinya superioritas fakultas rasional dengan watak operasionalnya yang intensional, linier, terfokus dan analitis terhadap fakultas intusional dengan watak khasnya yang cenderung padu, holistik dan linier. Dalam situasi ini, intuisi tidak difungsiskan dalam berhubungan dengan alam raya, dan rasio secara agresif mereduksi, mendiferensiasi, mengkuantifikasi, mengklarifikasikan, dan mengeneralisasi objek-objek inderawi untuk dikonfigurasikan dalam sebuah tatanan logis.

Dalam dunia sains dan teknologi, metode pemikiran analitik yang diwariskan Descartes ini telah memberikan manfaat kepada manusia dalam pengembangan teori-teori ilmiah dan pelaksanaan proyek-proyek teknologi yang kompleks. Namun disisi lain, tatkala metode reduksionis ini dipercaya sebagai sebuah cara jitu dalam memahami segala fenomena dan diaplikasikan dalam disiplin ilmu-ilmu lain (termasuk ilmu humaniora), maka mengakibatkan terjadinya fragmentasi dalam menatap realitas sosio-kultural manusia.

Pandangan manusia modern terhdap alam raya yang menempatkan secara ekstrim sebagai objek mutlak, dan dianggap tak berpartisipasi dalam proses pembentukan eksistensi manusia. Kenyataan ini berefek pada tumbuhnya sikap teknokratis. Alam diperlakukan sebagai objek penguasaan, dimanfaatkan dan dibuang. Akibatnya eksplorasi atas sumber daya alam tidak berbasiskan pada ukuran kebutuhan akan tetapi pada kehendak materialistik an sich. Maka pengguanaan secara tidak efisien atas sumber-sumber daya alam, merebak dalam kehidupan masyarakat modern, dan kian memompa manusia untuk lebih menemukan dan mengeksplorasi sumber-sumber baru. Dus, krisis sumber daya alam terutama energi menjadi tak terhindarkan dan kerusakan ekosistem yang cukup serius mengancam manusia.

Semua teori sejarah yang lahir sejak masa Aufklarung menafsirkan sejarah sebagai proses yang melibatkan manusia dan alam dalam pertentangan satu sama lain. Sejarah dipandang sebagai pembebasan manusia dari cengkraman alam. Perkembangan sejarah menunjukan proses makin berdayanya manusia dalam melepaskan diri dari ketergantungan terhadap alam. Sejauh umat manusia beremansipasi melepaskan diri dari ketergantungannya, ia menuju kebebasan penuh. Akan halnya, progresivitas merupakan implikasi dari proses dialektis tersebut. Sehingga inti dari dialektika ini adalah perlunya penguasaan. Yakni manusia hanya dapat membebaskan diri dari alam dengan menaklukannya. Dalam bingkai analisis historis ini, Theodore Ardono bahkan mempersamakan prinsip penguasaan. Dengan rasionalitasnya manusia menaklukan alam kepadanya. Namun kendatipun demikian, menurut dia, proses rasionalisasi atau penguasaan atas alam ini, tidak menjamin diperolehnya kebebasan. Ini berbeda dengan pandangan Herbert Spencer yang memprediksikan bahwa segala bentuk peperangan akan lenyap seiring dengan penyebaran ilmu pengetahuan dan teknologi serta berkembangnya hubungan niaga lintas Bangsa.

Khatimah: Agama Sebagai Pandangan Dunia Alternatif

Kesadaran tunggal rasional-materialistik manusia modern, mengakibatkannya telah berpisah dengan spiritualitas. Dan kemudian dalam proses relasi dinamisnya dengan alam, meneguhkan manusia pada posisi sentral, yaitu sebagai pengandali dan penguasa tunggal dalam ruang kosmik-secara tanpa kontrol. Sentralisme ini meresap dalam konteks kehidupan interaksi sosialnya, dan akibatnya mental teknokratis dan agresif juga teraktualisasikan dalam ranah interaksinya dengan sesama manusia. Kombinasi hegemonik ideologi liberalisme-kapitalisme dalam level sosial-politik berikut implikasinya seperti etika survival of the fittest merupakan cermin nyata atas fenomena ini.

Peta realitas dalam perspektif modernisme, secara dualistik sebagai kenyataan subjek-objek, spiritual-material dan seterusnya mengakibatkan terjadinya objektivasi semena-mena terhadap alam dan kemudian merambat pula dalam atmosfer kehidupan interaksi manusia. Imperalisme secara politik-militer dan kultural sebagaimana terekam dalam kenyataan sejarah dan kekinian adalah ekspresi konkretnya. Dalam konteks kehidupan sosial-politik, masyarakat pun menjadi objek yang direkayasa.

Supremasi ilmu-ilmu empirisme dalam kontatasi modernisme mangakibatkan kebenaran empirisme menjadi standard utamanya. Alhasil nilai-nilai kebenaran religius termaginalisasi. Disorientasi moral-etis pun marak dalam wujud kriminalitas, depresi mental, schizophrenia, dan sebagainya. Bahwa dalam wacana modern, manusia dalam sudut eksistensinya sebagai makhluk rasional, secara sepihak berarti dalam titik puncak determinasi relatifnya. Segenap daya intelegensi, kehendak, kreasi, dan segala manifestasinya sejauh teralami dan teruji adalah sebagai intisari kompleksitas bangunan peradabannya. Sebutan peradaban modern sebagai peradaban antrphosentris nampaknya cukup relevan dan tepat demi mendeskripsikan eksistensinya. Kelahiran dan pertumbuhannya dapat dipandang sebagai antithesis atas konstruksi peradaban sebelumnya yang terbentang dalam pengalaman sejarah barat yang theosentris.

Dalam struktur sebuah kebudayaan maupun peradaban dimana pun dan kapan pun, faktor pandangan dunia merupakan fondasi yang menjadi basis bagi lahir dan berkembangnya tatanilai dan norma, serta keseluruhan bangunannya. Maka yang menjdai inti kekuatan yang menopang suatu bangunan peradaban adalah pada dimensi pandangan-dunianya. Anomali, paradoks ataupun kehancuran dalam sistem ide-nya akan berefek secara menyeluruh pada aspek dan dimensi lainnya. Sementara dewasa ini kita, menyaksikan kritik-kritik tajam yang secara bertubi-tubi dan meyakinkan mampu membuktikan kesalahan-kesalahan fatal pada pandangan dunia modern. Karenanya, dapat kiranya diambil sebuah hipotesis bahwa peradaban modern tengah berada diujung kehancurannya.

Dengan demikian kehadiran sebuah pandangan dunia alternatif, guna mengambil alih modernisme yang telah sekian lama malang melintang dalam sejarah kemanusiaan sangat dibutuhkan dan dinantikan kehadirannya. Kemudian pandangan dunia seperti apakah yang berkemampuan mengambil alih peran modernisme?. Dapatkah pandangan dunia keagamaan mengambil peran dalam momentum ini? Menurut penulis, jawabannya adalah harus dan pasti. Namun ini sangat tergantung dari sejauhmana generasi masa kini mampu secara cerdas membumikannya dalam ranah sejarah, sehingga di masa depan terbangun sebuah peradaban yang mampu memberikan garansi pasti bagi kemaslahatan segenap ummat manusia. Karena agama sendiri adalah semata-mata hidup atau mati, berperan atau terpinggirkan tergantung ditangan yang meyakininya. Wallahu ‘alam. *****